Peradaban Islam di Mesir

1. Daulah Fathimiyah

Wilayah kekuasaan Dinasti Fathimiyah (909 -1171 M) Meliputi Afrika Utara, Mesir dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fathimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya dinasti Abbasiyah. Ubaidillah Al-Mahdi Mendirikan Dinasti Fathimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Kebudayaan islam berkembang pesat pada masa dinasti Fathimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berpungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan.

Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam syi’ah yang ketujuh.
Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainya mempercayai Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fathimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.

Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-Husain sebagai pemimpin syi’ah Ismailiyah. Ia adalah orang yaman asli, sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim diri sebagai wakil Al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, Khususnya dari kalangan Kithamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.

Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yakni sa’id bin Husain As-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad Al-Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yakni ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “ Ubaidullah Al-Mahdi “. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan Al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.

Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 M mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dari Tahert dan menyerang bani Idris di Maroko.

Khalifah-khalifah Daulah Fathimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang, tetapi yang berperan adalah :
  1. Ubaidillah Al-Mahdi
  2. Al-Qo’im (322 H/934 M) 
  3. Al-Mansur (334 H/945 M) 
  4. Al-Mu’izz (341 H/952 M) 
  5. Al-Aziz (364 H/973 M) 
  6. Al-Hakim (386H/996 M) 
  7. Al-Zahir (411 H/1020 M)
  8. Al-Mustansir (427 H/1035 M). 
Kemajuan Peradaban Pada Masa Dinasti Fathimiyah adalah :

a. Bidang Administrasi

Periode Dinasti Fathimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagaian khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir.

Administrasi kepemerintahan Dinasti Fathimiyah secara garis besar tidak berbeda dengan Administrasi Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala Negara baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.

b. Kondisi Sosial

Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan dari umat islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Nasir Al-Khusraw salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai Kota makmur dan aman. Menurutnya, Toko-toko perhiasan dan pusat-pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa kunci, rakyat menaruh kepecayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga jual akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi bunyian.  Demikian pula pada masa Khalifah ke-8 Mustansir pengembangan ilmu makin semarak dengan perpustakaan negara yang dipenuhi dengan 200.000 buah buku. Zaman Khalifah-Khalifah ini Mesir mengalami kemakmuran. Perdagangan juga berkembang ke segala arah, Ke India, Ke Italia, dan Laut Tengah Barat, dan kadang-kadang ke Byzantium. Kota Kairo menjadi Kota internasional yang berkembang produksi-produksinya. Kemakmuran penduduknya juga merangsang timbulnya pemikiran dari seluruh Dunia Islam karena semangat intelektualnya dan semangat toleransinya. Ahli Zimah terutama umat Kristen dan Yahudi mendapat perlakuan yang baik sehingga umat Kristen diperbolehkan membangun gereja. Beberapa di antara mereka ada yang diangkat menjadi gubernur diantaranya Manasseh, seorang Yahudi, sebagai gubernur Syria pada zaman Al-Aziz. Bahkan Al-Aziz sendiri mempunyai seorang istri yang beragama Kristen. 

C.  Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Sumbangan dinasti fathimiyah dalam kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar sumbangan Abbasiyah di Bagdad dan Umayyah di Spanyol. Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh Al-Hakim yang melanjutkan perkembangan daulah Fathimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun. Jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah. Yang berpungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bernama Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku tentang bermacam-macam ilmu. Lahir sarjana-sarjana dalam bermacam-macam ilmu, di antaranya yang terkenal adalah Ibn Haitsam yang di barat disebut dengan Alhazen. Bukunya Kitab Al-Manazhir mengenal ilmu cahaya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di masa Gerard of Cremona dan disiarkan tahun 1572.
  
Para khalifah Fathimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai seni termasuk seni arsitektur. Mereka memperindah ibu kota dan kota-kota lainnya dengan berbagai bagunan megah, Masjid agung Al-Azhar dan masjid agung Al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman fathimiyah. Khalifah juga mendatangkan sejumlah arsitek Romawi untuk membantu menyelesaikan tiga buah gerbang raksasa di Kairo. Dan benteng-benteng di wilayah perbatasan bizantium. Semua ini merupakan sebagian dari peninggalan sejarah pemerintahan syi’ah di Mesir.
    
Pada masa Al-Aziz Masjid Al-Azhar mengalami perubahan dasar. Keistimewaan masjid ini, dimulai sebagai sebuah masjid dan berkembang menjadi universitas. Al-Azhar yang dibagun tahun 970 M sebagai masjid yang baru, lama kelamaan berkembang menjadi pusat pendidikan tinggi Islam yang terus berlanjut sampai sekarang. Semula perguruan tinggi Al-Azhar dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin syi’ah, namun kemudian oleh shalahuddin al-Ayyubi diubah menjadi pusat pendidikan sunni sampai sekarang.
 
2.  Daulah Ayyubiyah

Pendiri dinasti ini Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi, lahir di Takriet 532 H/ 1137 M meniggal 589 H/ 1193 M, dimasyhurkan oleh bangsa Eropa dengan nama “saladin” pahlawan perang salib, dari keluarga Ayyubiyah suku Kurdi. 
Daulah fathimiyah waktu itu telah lemah tidak sanggup menghadapi tentara salib yang hendak menguasai dunia islam. Rajanya Al-Adhid Li Dinillah telah tua dan sakit, meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki raja syam. Nuruddin mengutus Shalahuddin keponakanya membawa angkatan bersenjata membantu Mesir. Dalam perjuangannya beliau berhasil sehingga kemudian menjadi Sulthan di Mesir sebagai pendiri dinasti Ayyubiyah.
Perjuangan Shalahuddin sampai menjadi sultan dapat dibagi menjadi tiga periode :
 
1. Periode Berjuang di Mesir.
Beliau muncul pertama kali sebagai prajurit biasa di Mesir pada tahun 559 H/1164 M sewaktu umurnya 27 tahun. Ketika itu Nuruddin Zanki, Pamannya, mengirimkan angkatan bersenjata yang terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di bawah pimpinan Shirkuh dibantu oleh banyak staf komando, Shalahuddin salah satunya. Tentaranya diminta untuk menyerang Tyre agar bisa mengalihkan serangan tentara salib dari Mesir. Permintaan itu menyebabkan Nurudin campur tangan dalam urusan Mesir dan mencari tahu bahwa Mesir telah lemah menghadapi tentara salib dan memberi kesempatan kepada Shalahuddin sebagai wakil Nurudin untuk menguasai Mesir.
Shirkuh sesudah memimpin angkatan bersenjata selama dua bulan, meninggal. Kematian Shirkuh digantikan oleh Shalahuddin. Karena kepintarannya Khalifah Al-Adhid mempercayakan jabatan menteri kepadanya. Kemudian Shalahuddin menghadapi tentara Salib yang dating dari barat, yang mencoba menduduki kota Dimyat untuk merebut Mesir. Shalahuddin menunjukkan keberaniannya menghalau musuh. 

Datanglah saatnya Shalahuddin tampil sebagai penguasa Mesir. Ketika Khalifah Al-Adhid meninggal Shalahuddin diangkat menjadi penguasa Mesir, tetapi beliau tidak bersedia menjadi raja pelanjut daulah Fathimiyah. Ia memproklamirkan Mesir menyatu dengan pemerintahan Abbasiyah di Bagdad. Di sisni namanya menanjak sebagai pemersatu Dunia Islam Yang tadinya terpecah menjadi Abbasiyah yang Sunni dan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah. Shalahuddin secara berangsur-angsur memperkuat kedudukannya tanpa menimbulkan kecurigaan orang Mesir dan Nuruddin Zanki di Syria. Beliau berusaha melemahkan pengikut khalifah dan mencari kepercayaan rakyat yang kebayakan pengikut aliran sunni. Shalahuddin berusaha mendekati rakyat dan mengangkat orang-orang kepercayaannya menduduki jabatan penting di Mesir. Setelah teguh kedudukannya dipanggillah segala kaum keluarganya, ayah dan saudara-saudaranya supaya hidup bersama di Mesir. Lalu di hentikan khutbah Jum’at memuji khalifah Fathimiyah, dikembalikan memuji Khalifah Bagdad.

2. Periode Menghadapi Syria (1174-1186 M).

Karena kedudukannya yang teguh di Mesir, banyaklah orang yang cemburu atas kenaikan dan kebesarannya. Disampaikan kepada Nuruddin bahwa Shalahuddin hendak merampas Mesir dari kekuasaannya. Maka disiapkan angkatan bersenjata hendak menyerang Mesir. Shalahuddin telah bersiap pula, padahal musuh-musuh Islam sedang menyusun kekuatan untuk berperang merampas negeri Islam. Sebelum hal itu terjadi tiba-tiba mangkatlah Nuruddin Zanki raja Syam di Damaskus pada tahun 569 H.

Karena putra raja Syam masih kecil, maka Shalahuddin memproklamirkan dirinya sebagai raja Mesir dan “pelidung” raja syam. Shalahuddin menjadi penguasa Arab terpenting mempersatukan Mesir, Syria, Mesopotamia, dan Yaman untuk melawan tentara salib. Bangsa kurdi dan Turkuman bergabung dengan pasukan Shalahuddin yang sangat berpengaruh di wilayah Asia Barat. Akhirnya dengan terang-terangan dinyatakan kekuasaannya penuh atas Mesir dan Syam setelah Shalahuddin berhasil memadamkan segala kekacauan yang terjadi di Syria. Raja al-Malik al-Sholeh pengganti Nuruddin dapat dikalahkan. Pada Tahun 572 H beliau kembali ke Mesir dan diangkatlah Thauran Syah menjadi wali Syam. Dan kalau ia sedang di Syam maka wazirnya, Bahruddin, menjalankan titahnya di Mesir. 

Untuk mempertahankan diri melawan pengikut Fathimiyah di Mesir dan melawan bahaya orang salib di Syria dan palestina, Shalahuddin mendirikan benteng Kairo di atas bukit Muqattam yang paling Barat. Tempat ini menjadi pusat pemerintahan dan kubu militer yang sanggup menangkis serangan dari luar. Rencana Shalahuddin untuk menghubungkan benteng ini dengan benteng Kairo Kuno zaman Fathimiyah dan memperluas benteng sehingga memagari letak kota Fustat sepanjang sungai Nil.

3. Periode Berjuang di Palestina (1186-1193 M) 

Masa ini terjadi Perang suci melawan tentara Salib. Kebijaksanaan Shalahuddin adalah membentuk persatuan Negara Arab untuk mengusir tentara salib. Dalam perang ini Shalahuddin selalu mengalahkan tentara salib sampai puncaknya menghancurkan mereka di Hittin dekat Teberias tahun 1187 M. kemudian diikuti dengan penundukan atas palestina, Acre (Okka), Nablus, Caesaria, Jaffa, Ascolon, Beirut. Pada tahun yang sama Yerusalem juga menyerah, negeri Tripolis, Antiokh, seluruh pesisir Utara Tyre dikuasai. Perang suci ini disudahi dengan perjanjian tahun 1192 di Ramleh dengan syarat-syarat :
  • Yerusalem tetap berada di bawah ummat Islam, dan Ummat Kristen diizinkan menjalan kan ibadah di tanah suci mereka.
  • Tentara salaib mempertahankan Pantai Syria dan Tyre samapai Jaffah.
  • Ummat Islam mengembalikan harta rampasan Kristen kepada Ummat Kristen.
Pada tahun 1174 Shalahudin menguasai mesir mendirikan dinasti Ayyubiyah. Pada tahun 1181 M Malik al-Shaleh meninggal, maka Shalahudin menguasai wilayah mesir, syam, Mesopotamia, dan Yaman. Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun dan mempunyai sepuluh orang sultan yaitu :
  1. Shalahudin Yusuf (1174-1193 M)
  2. Al-Aziz Bin Shalahudin (1193-1198 M)
  3. Mansur Bin al-Aziz (1198-1199 M)
  4. Al-Adil I Ahmad Bin Ayyub (1199-1218 M)
  5. Al-Kamil I (1218-1238 M)
  6. Al-Adil II (1238-1240 M)
  7. Sholeh Najmuddin (1240-1249 M)
  8. Muazzham Tauran bin Sholeh (1249-1249 M) 
  9. Syajarat al-Durr istri Malik Sholeh (1249-1249 M)
  10. Asyraf bin Yusuf (1249-1250 M) 
Dengan demikian Shalahuddin mempunyai tugas utama, pertama beliau banyak mengadakan pembangunan di seluruh Negara, membangun administrasi Negara, membangun ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan, membangun madrasah dan sekolah, mengembangkan bidang keagamaan mazhab Ahli Sunnah. Tugas yang kedua membangun persatuan bangsa Arab di bawah naungan Abbasiyah di Bagdad untuk menghadapi agresi tentara salib, membangun benteng pertahanan militer di bukit muqattam. Tidak kurang dari sepuluh tahun beliau menghadapi tentara salib dalam berbagai pertempuran sehingga puncaknya pada pertempuran di Hittin pada tahun 583 H/1187 M beliau mencapai kemenagan gemilang, dari Teberias menuju Palestina dan merebut kota itu dari kekuasaan tentara Salib. 
Pusat pemerintahan Dinasti Ayyubiyah adalah Kairo, Mesir. Shalahuddin berhasil menaklukkan daerah Islam lainnya dan pasukan salib. Shalahuddin adalah tokoh dan pahlawan perang salib. Selain di kenal sebagai panglima perang, shalahuddin juga mendorong kemajuan di bidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pemerintahan Ayyubiyah ditandai dengan meniggalnya Malik Al-Asyraf, sultahn terakhir dan berkuasanya Dinasti Mamluk. Salah satu Peniggalan Ayyubiyah adalah Benteng Qal’ah Al-Jabal di Kairo, Mesir.

Sumber :
  • Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Amzah.
  • Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Kencana.

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Traffic Blog

free counters